Baik sebagai sistem maupun proses, demokrasi dalam dekade-dekade belakangan
dianggap sebagai yang terbaik apabila
dibandingkan dengan sistem dan proses politik yang lain. Ini karena demokrasi
mengedepankan aspek manusia dan kemanusiaan. Demokrasi juga dapat menghindari adanya
penyalahgunaan dari kesewenang-wenangan terhadap kekuasaan. Ini karena demokrasi, menurut
Giovanni Sartori, merupakan “a system in which
no one can choose himself, no one can invest himself with the power to rele, therefore, no
one can arrogate to himself unconditional and unlimited power”.
Karena demokrasi dipahami seperti itu eksistensinya kemudian diperjuangkan, bahkan
tidak jarang demokrasi juga dirumuskan sebagai tujuan yang hendak dicapai. Tidaklah
mengherankan, demokrasi terus diperjuangkan dan gerakan demokrasi ada di mana-mana. Sejak
akhir 1980-an, gerakan demokratisasi berlangsung secara massive. Negara-negara totaliter dan otoriter
banyak yang jatuh.
Di Indonesia sendiri, semangat menuju demokratisasi sudah sudah ada sejak awal
kemerdekaan. Tetapi semangat demikian terhalangi oleh sistem dan proses politik yang tidak
demokratis selama kurun empat dekade. Sejak 1957 sistem politik kita mengarah pada apa
yang disebut more or less, otoriter. Secara
kelembagaan memang demokrasi itu seolah-olah ada, misalnya saja ada partai politik, pers,
dan lembaga perwakilan rakyat. Tetapi, secara faktual demokrasi menjadi sulit terlihat
karena arena partisipasi politik terbatasi (limited
pluralism).
Penguasa sendiri, di dalam posisi seperti itu kemudian menciptakan wacara, bahkan
hegemoni, bahwa "demokrasi kita ini berbeda dengan demokrasi di negara-negara
lain". Ini karena nilai-nilai kita memang khas, yaitu lebih mengedepankan aspek
kolektivitas daripada individualitas. Pemerintahan Soekarno memaknai perbedaan itu dengan
perumusan konsep Demokrasi Terpimpin, dan pemerintahan Soeharto dengan Demokrasi
Pancasila. Selain itu, juga dikembangkan wacana bahwa untuk sampai pada kehidupan
demokratis sebagaimana di negara-negara Barat, masyarakat kita belum siap.
Maka selama empat dekade itu, dengan berbagai variasi di dalamnya, orang-orang atau
kelompok-kelompok yang memperjuangkan demokrasi memang ada dan selalu berusaha. Tetapi
perjuangan mereka kurang membawa hasil, bahkan kandas. Tidak sedikit aktivis demokrasi
lalu menjadi tahanan politik karena dianggap "makar" kepada penguasa. Yang
terjadi kemudian adalah adanya pensiatan-pensiatan tentang bagaimana sejumlah prinsip
demokrasi kita bisa hidup dalam sistem otoriter itu. Ini dilakukan agar otoriotarisme itu
tidak kebablasan atau ngono yo ngono ning yo ojo ngono.
Upaya para aktivis yang memperjuangkan demokrasi itu memperoleh hasil yang cukup
besar ketika mereka berhasil menurunkan Pak Harto dari puncak kekuasaan. Bersamaan dengan
itu sejumlah instrumen otoritarianisme juga diupayakan untuk dilenyapkan. Termasuk di
dalamnya ada upaya untuk menyeimbangkan pola hubungan negara dan masyarakat.
Di samping itu, demokrasi di Indonesia juga berupaya ditegakkan melalui penegakan
institusi-institusi demokrasi. Yang cukup menonjol dalam pemerintahan transisi ini adalah
adanya institusi pers yang kuat. Ini tidak saja terlihat dari banyaknya media massa baru.
Isi dari media massa dan elektronik sendiri saat ini sudah tidak terkontrol lagi oleh
negara. Pers sekarang ini sangat bebas mengungkap fakta, opini, dan analisis termasuk yang
selama ini dianggap tabu.
Begitu bebasnya pers mengungkap fakta, opini dan analisis, tidak jarang proses check and recheck -- yang selama ini menjadi internal control pers -- kemudian diabaikan.
Akibatnya, pers sekarang ini sangat "berkuasa" dan terkesan
"otoriter", karena diabaikannya kode etik pers yang sudah melekat itu. Ini
terlihat dari banyaknya kasus trial by the press sepanjang
pemerintahan transisi ini.
Selain institusi pers, kehidupan demokrasi yang terlihat adalah adanya kebebasan
untuk berorganisasi, baik mendirikan partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan
dan kelompok penekan. Begitu bebasnya orang mendirikan partai politik saat ini sudah
tercatat lebih dari seratus partai politik baru. Yang sedikit mengejutkan adalah
polarisasi ideologi itu juga nampak, meskipun tidak sampai mengarah kepada polarisasi
ekstrim. Di antara partai-partai baru itu dijumpai partai yang berbasis pada ideologi
agama-agama tertentu, etnik, sampai basis ideologi-ideologi besar yang ada selama ini --
seperti sosialisme dan liberalisme.
Munculnya banyak partai yang berbasis pada ideologi yang berbeda itu di satu sisi
cukup menggembirakan, karena realitas ini merupakan refleksi dari freedom of organization dari berbagai kelompok yang
berbeda. Di sisi lain, ada kekhawatiran munculnya partai yang berbeda secara ideologis itu
akan memicu potensi konflik yang ada di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan itu rencana diadakannya Pemilu pada 7 Juni 1999 juga ditanggapi
secara skeptis. Apakah Pemilu 1999 itu akan benar-benar berlangsung luber dan jurdil?
Apakah militer dan birokrasi benar-benar tidak memihak? Kalau pun berlangsung secara
demokratis, apakah pemilu itu tidak akan memicu kemunculan konflik?
Pemerintah sendiri, termasuk Presiden BJ Habibie, berupaya meyakinkan kepada
masyarakat bahwa Pemilu 1999 akan berlangsung secara luber dan jurdil. Untuk itu,
seperangkat aturan yang menjaga kebersihan pemilu itu kini tengah dibahas oleh DPR.
Termasuk di dalamnya adalah aturan tentang partai-partai yang bisa mengikuti pemilu. Para
perancang UU tentang kepartaian yang baru memiliki argumen bahwa bentuk demokrasi yang
cocok untuk Indonesia adalah model pluralisme sederhana. Rielnya, jumlah partai yang ada
akan dibatasi. Langkah demikian ditempuh untuk meminimalisasi konflik politik.
Kelompok-kelompok yang menganut pluralisme yang lebih luas, berikut pengelola
partai-partai yang tidak bermassa besar, tentu saja tidak bisa menerima argumen semacam
itu. Model pluralisme sederhana dianggap membatasi kebebasan berpolitik. Bisa dipastikan,
kelompok demikian akan melayangkan protes dan berdemonstrasi,
apabila UU yang membatasi jumlah partai melalui persyaratan-persyaratan tertentu
ditetapkan oleh DPR.
Selain permasalahan institusi, penegakan demokrasi di Indonesia masih menghadapi
permasalahan yang berkaitan dengan budaya politik. Selain mensyaratkan adanya
institusi-institusi tertentu, tegaknya demokrasi oleh para ahli ilmu politik dinilai
memerlukan persyaratan budaya politik tertentu. Gabriel Almond dan Sidney Verba berargumen
bahwa budaya politik yang cocok untuk demokrasi adalah "civic culture" (budaya politik
kewarganegaraan). Di dalam budaya demikian masyarakat menyadari hak-hak dan kewajiban
politiknya. Dengan demikian pola hubungan antara negara dan masyarakat akan berlangsung
secara seimbang. Pola keseimbangan ini terjadi karena masing-masing warga negara
mengembangkan nilai-nilai tertentu seperti "moderation,
cooperation, bargaining, and accomodation".
Nilai-nilai seperti itu agaknya yang masih belum kuat tertanam di dalam sanubari
setiap warga negara Indonesia. Ini terlihat dari masih didapatinya kelompok-kelompok yang
masih mengedepankan kepentingannya sendiri, dan memaksakan kehendak atas kelompok lain.
Kerusuhan yang terjadi di Ketapang, Kupang, Ujung Pandang, dan di sejumlah daerah lainnya,
membuktikan bahwa nilai-nilai yang dapat membangun kehidupan yang demokratis belum
terhayati.
Melihat realitas yang demikian, apakah demokrasi lalu perlu dilakukan secara
bertahap sambil menunggu terbangunnnya nilai-nilai demokrasi seperti itu? Bagi para
penganut pendekatan relativitas kultural, implementasi demokrasi memang harus
memperhatikan realitas nilai-nilai demokrasi yang berkembang di dalam masyarakat.
Implementasi itu hanya akan melahirkan distorsi seperti konflik berkepanjangan, kalau
masyarakatnya belum siap.
Pandangan linier semacam itu tentu tidak dapat diterima oleh para penganut
universalitas demokrasi. Dalam pandangan kelompok demikian, demokrasi memang membutuhkan
nilai-nilai tertentu, tetapi nilai-nilai akan terbangun dengan sendirinya kalau demokrasi
diimplementasikan. Karena itu, tidak cukup realistis untuk menunda-nunda implementasi
demokrasi hanya dengan dugaan bahwa masyarakat belum siap berdemokrasi.
Perdebatan semacam itu jelas tidak akan selesai. Nilai-nilai tertentu memang sangat
dibutuhkan untuk membangun demokrasi. Tetapi tidak jarang ini hanya dijadikan alasan bagi
penguasa untuk menciptakan iklim politik yang demokratis.
Penulis
berpandangan bahwa selain perlu dibangun lembaga-lembaga demokrasi -- seperti adanya kebebasan berpolitik (aktif
bergabung dan mendirikan partai politik), pemilu, dan yang lain -- adanya seperangkat
aturan (rule of game) yang disepakati bersama
untuk mengatur jalannya kehidupan politik itu, sangatlah diperlukan. Tanpa law enforcement semacam itu, nilai-nilai yang
mendukung semokrasi akan lahir dengan sendirinya. Inikah yang akan terjadi untuk Indonesia
masa depan? Penulis berdoa semoga ini yang akan terjadi, sehingga wajah demokrasi kita
tidak bopeng seperti sekarang ini.
Sumber:
Kacung Marijan, "Wajah Demokrasi Kita", Republika, 23 Januari 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar