Dalam sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, kedudukan
presiden teramat sangat penting, presiden memegang posisi kunci dalam menentukan
keputusan-keputusan bersifat nasional. Oleh karena itu, proses pemilihan presiden harus
mampu menghasilkan seorang presiden yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat
berdasarkan UUD 1945 (yang sudah diamandemen), yakni melalui proses dua jenjang.
Pada jenjang pertama, rakyat menentukan wakil-wakilnya di MPR melalui
pemilihan umum. Pada jenjang berikutnya, wakil-wakil rakyat di MPR memberikan suaranya
untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Pemilu 1999
Bagi Indonesia terlaksananya Pemilu pada tahun 1999, merupakan babak
baru yang menjadi tonggak terlaksananya sistem pemerintahan yang demokratis di republik
ini. Perwujudannya adalah dengan dimulainya sistem pemilihan presiden secara langsung.
Sistem ini memungkinkan rakyat untuk memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat
presiden pilihannya. Sistem ini oleh para pendukungnya dianggap sebagai suatu mekanisme
yang lebih demokratis dan merupakan solusi untuk mencegah berbagai distorsi yang terjadi
pada sistem pemilihan presiden yang pernah ada.
Tujuan diadakannya system pemilihan presiden langsung tiada lain agar
proses terciptanya demokrasi partisipatoris di Indonesia berjalan. Sistem demokrasi
partisipatoris muncul di sebagian besar negara-negara yang telah mengalami transisi
politis ke arah pemerintahan yang lebih demokratis, misalnya di negara-negara Eropa Timur,
atau tetangga kita seperti di Thailand dan Filipina. Tumbuhnya perkembangan ke arah
demokrasi partisipatoris adalah hasil upaya rakyat untuk menciptakan sistem
pengawasan yang lebih efektif terhadap penyalahgunaan mandat rakyat oleh politikus, baik
pejabat pemerintah maupun anggota parlemen.
Perlu ditekankan bahwa tumbuhnya demokrasi partisipatoris bukan
untuk menggantikan demokrasi perwakilan, melainkan untuk memperkukuh demokrasi perwakilan
dan membuatnya semakin efektif dalam mencerminkan kehendak rakyat.
Pengalaman pemilihan presiden tahun 1999 lalu, sarat dimuati
intrik-intrik politik yang menodai hasil pemilu. Sampai saat terakhir sebelum hari
penghitungan suara, masih terdapat kesimpangsiuran terhadap calon-calon presiden yang ada.
Para pemimpin fraksi melakukan tawar-menawar di belakang layar. Kriteria calon presiden
pun tidak ditetapkan secara transparan dan demokratis. Pada akhirnya calon-calon yang
ditetapkan lebih merupakan hasil konsesi politis antara blok-blok politik yang ada di MPR.
Kelebihan pemilihan presiden langsung diharapkan akan mengurangi
distorsi-distorsi atau masalah-masalah yang dihadapi saat pemilihan presiden yang
dilakukan oleh MPR. Ada beberapa poin dari sistem pemilihan presiden langsung (SPPL) ini.
Pertama, presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang
sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suaranya secara langsung.
Legitimasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan yang sedang
mengalami krisis politik dan ekonomi. Krisis legitimasi telah mengakibatkan
ketidakstabilan politik dan ekonomi yang berkepanjangan.
Kedua, presiden terpilih tidak perlu terikat konsesi pada partai-partai
atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya. Artinya, presiden terpilih berada di atas
segala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Apabila presiden
terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-kepentingan parpol, kabinet yang dibentuk
cenderung merupakan kabinet koalisi parpol dan bukan kabinet kerja. Padahal, pada masa
krisis ekonomi seperti sekarang ini, yang kita perlukan adalah kabinet kerja.
Ketiga, sistem ini menjadi lebih accountable dibandingkan sistem
yang sekarang digunakan karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya melalui MPR yang
tidak seluruhnya merupakan anggota terpilih hasil pemilu. Apabila presiden yang terpilih
ternyata kemudian tidak memenuhi harapan rakyat, pada pemilihan berikutnya, kandidat yang
bersangkutan tidak akan dipilih kembali.
Keempat, checks and balances antara lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif dapat lebih seimbang karena di masa yang akan datang, anggota lembaga
legislatif juga akan dipilih langsung.
Kelima, kriteria calon presiden dapat dinilai secara langsung oleh
rakyat.
Meskipun sistem pemilihan presiden langsung punya kelebihan, masih ada
beberapa pihak yang keberatan. Pertama, ada keraguan bahwa rakyat Indonesia sudah siap
untuk menerapkan sistem ini pada pemilihan presiden tahun 2004. Alasan utamanya ialah
karena tingkat pendidikan serta kesadaran politik yang masih rendah, tingkat emosional
rakyat yang cenderung tinggi, serta masih adanya konflik bersenjata bernuansa sara di
beberapa wilayah di Indonesia.
Kedua, sistem ini memberi peluang menguntungkan terhadap: a) kandidat
dari partai besar dengan dana besar, b) kandidat yang karismatik, dan c) Kandidat dari
Pulau Jawa.
Ketiga, memperlemah kedudukan MPR: a) bagaimana tugas utama MPR apabila
wewenang Pemilihan presiden tidak lagi berada di tangan MPR? b) kepada siapakah presiden
bertanggung jawab apabila presiden tidak lagi dipilih oleh MPR?
Keempat, memperlemah kedudukan DPR. Pemilihan presiden langsung akan
memperkokoh kedudukan dan legitimasi terhadap presiden sehingga kemungkinan besar akan
memperlemah posisi DPR. Kelima, sistem pemilihan ini akan memakan biaya besar, tidak saja
bagi partai-partai politik yang menominasikan kandidatnya, tetapi juga bagi rakyat dan
negara karena sedikitnya harus ada dua pemilihan umum berskala besar, yakni pemilihan
anggota DPR/MPR, dan pemilihan presiden.
Keenam, sistem pemilihan langsung perlu diterapkan di tingkat lokal
terlebih dahulu atau untuk lembaga legislatif terlebih dulu sebelum dilaksanakan untuk
pemilihan presiden.
Dalam mekanisme pelaksanaan pemilihan langsung rakyat Indonesia, siap
atau tidak, tetap akan melakukan pemilihan presiden pada tahun 2004. Rakyat Indonesia pada
dasarnya sudah menyadari penuh akan hak-haknya sebagai warga negara. Andai pemilihan
presiden langsung merupakan suatu mekanisme yang menyempurnakan pemenuhan hak-hak rakyat
sebagai warga negara, tentu akan lebih demokratis. Pada Pemilu 1999 dalam waktu kurang
dari satu tahun, rakyat Indonesia diperkenalkan pada suatu sistem pemilihan baru, berupa
sistem pemilihan campuran. Rakyat juga digiring untuk melaksanakan pemilu setelah hanya
dua tahun dari pemilu terakhir yang dinyatakan merupakan salah satu pemilu yang memakan
banyak korban dalam sejarah Indonesia. Ternyata, berbagai prediksi buruk yang mengawali
pelaksanaan Pemilu 1999 tidak menjadi kenyataan.
Pemilu 1999 paling damai yang pernah terjadi di Indonesia, bahkan di
dunia. Hal ini dikemukakan oleh mantan presiden AS, Jimmy Carter, yang turut memantau
pemilu tersebut. Carter pada saat itu menyatakan kekagumannya terhadap antusiasme,
kesabaran, serta toleransi yang ditunjukkan oleh rakyat Indonesia pada saat pemungutan
suara dan penghitungan suara.
Justru yang belum siap adalah elite politik yang tidak dapat menerima
hasil pemilu dan bertikai terus sehingga menunda hasil penghitungan suara. Ini merupakan
pembelajaran dan kesadaran politik yang rendah disebabkan karena partisipasi politik
rakyat selama masa Orde Baru sangat dibatasi. Akibatnya, kedewasaan politik rakyat tidak
pernah diasah atau dilatih.
Cara efisien dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran politik
rakyat melalui pendidikan politik agar melatih rakyat untuk menggunakan hak pilihnya dalam
Pemilu. Ini merupakan metode pendidikan politik yang paling sederhana dan mendasar.
Tentunya kedewasaan politik tidak dapat dicapai dalam sekali pelaksanaan pemilu.
Mengingat bahwa pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama di Indonesia
yang relatif bebas dan adil sejak tahun 1955 maka rakyat masih harus melalui beberapa
pemilu sebelum kedewasaan politik dicapai. Namun, apabila proses pelatihan itu tidak
dimulai sedini mungkin, tingkat kesiapan tersebut tidak akan pernah tercapai. Pendidikan
politik tidak dapat ditempuh melalui pendidikan formal. Pendidikan politik adalah
pendidikan melalui praktik menerapkan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pemilu
merupakan metode pendidikan politik yang paling sederhana melatih rakyat untuk menggunakan
hak-haknya.
Negara-negara yang telah menerapkan sistem pemilihan presiden langsung
kebanyakan adalah negara dengan tingkat pendidikan rakyat yang masih rendah, bahkan jauh
lebih rendah dari Indonesia. Jadi alasan bahwa tingkat pendidikan formal yang rendah akan
menghambat pelaksanaan sistem pemilihan presiden langsung sebenarnya tidak dapat diterima.
Sekali lagi, ini merupakan mekanisme untuk meningkatkan partisipasi dan
akuntabilitas publik, bukan ujian untuk mengukur kecerdasan suatu bangsa.
Menganggap bahwa rakyat tidak punya tingkat rasionalitas yang cukup untuk dapat menentukan
pilihan presidennya merupakan anggapan yang elitis dan seharusnya tidak lagi dikemukakan
dalam era reformasi. Ukuran rasionalitas tidak bisa lagi ditentukan oleh elite politik
yang relatif berpendidikan tinggi. Rasionalitas pemilih diukur berdasarkan kepentingan,
pengalaman, dan ruang lingkup khusus dari para pemilih.
Potensi konflik akan tetap ada selama rasa ketidakpuasan tidak
ditangani. Apabila sejak awal sistem pemilihan, kriteria kandidat dan proses tawar-menawar
dilakukan secara terbuka, tingkat ketidakpuasan tidak akan begitu memuncak sehingga timbul
kerusuhan.
Dalam mengantisipasi pelaksanaan otonomi luas, kita mengharapkan semua
pejabat pemerintah di tingkat provinsi mulai dari gubernur sampai lurah akan dipilih
secara langsung. Pemilihan presiden merupakan medium yang paling tepat untuk melatih
rakyat menuju pelaksanaan pemilihan langsung untuk pejabat daerah. Apabila presiden,
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi saja sudah dipilih langsung, akan mudah
untuk mengajukan argumentasi bahwa semua pejabat eksekutif di bawah presiden, juga harus
dipilih langsung. Ini juga akan ikut mempersiapkan kesiapan jajaran birokrasi di daerah
untuk merombak sistem pengangkatan pejabat yang kini sarat dipengaruhi faktor politis dan
KKN.
Masih adanya anggapan bahwa sistem tersebut akan menguntungkan pemilih
dari Jawa, terlalu menyederhanakan keragaman kelompok pemilih di Jawa. Pertama,
penduduk Jawa sendiri terbagi dalam beberapa kelompok etnis yang berbeda seperti orang
Sunda, Betawi, Madura. Pembagian berdasarkan wilayah juga membedakan identitas dari
pemilih Jawa seperti orang Yogya, Solo, Surabaya, dan seterusnya. Kedua, suara
pemilih Jawa tidak saja akan terbagi secara etnis, tetapi juga secara ideologis dan daya
tarik personal kandidat yang bisa melampaui garis batas etnis. Seharusnya di era reformasi
ini kita tidak lagi mempersoalkan identitas etnis. Yang perlu ditekankan adalah konsep
meritokrasi sehingga semua pemimpin harus dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan
secara objektif untuk jenis pekerjaan yang akan dilaksanakannya.
Sistem pemilihan presiden langsung :
Pertama, first-past-the-post. Kandidat yang memperoleh suara
terbanyak langsung memenangkan pemilihan presiden. Dalam sistem ini, seorang kandidat
presiden dapat memenangkan pemilihan meskipun hanya meraih kurang dari separuh suara
pemilih. Kedua, preferential voting. Pada saat pemilihan, pemilih memberikan
peringkat pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya terhadap kandidat presiden yang ada.
Kandidat dengan perolehan peringkat pertama yang terbesar otomatis memenangkan pemilihan.
Metode ini dapat membingungkan proses penghitungan suara di setiap TPS sehingga
penghitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.
Ketiga, two-round system atau system run-off. Bila tak
seorang pun dari kandidat yang memperoleh mayoritas absolut (50% + 1), dua kandidat dengan
perolehan suara terbanyak harus melalui pemilihan tahap kedua beberapa waktu setelah
pemilihan tahap pertama. Jumlah suara minimum yang harus diperoleh para kandidat pada
pemilihan tahap pertama agar dapat ikut dalam pemilihan tahap kedua bervariasi di beberapa
negara. Di Nikaragua 40%, di Kosta Rika 45% dengan keharusan perbedaan sebanyak 10% di
atas kandidat lain. Sistem ini paling populer dilaksanakan di negara-negara dengan sistem
presidensial.
Keempat, system electoral college. Setiap unit pemilihan
(provinsi atau negara bagian) diberi alokasi atau bobot suara dewan pemilih (electoral
college) sesuai dengan jumlah penduduknya. Setelah pemilihan presiden, keseluruhan
jumlah suara yang diperoleh tiap kandidat di setiap unit pemilihan tersebut dihitung.
Pemenang di setiap negara bagian berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di
negara bagian yang bersangkutan.
Berbagai kekhawatiran maupun keberatan terhadap sistem pemilihan
presiden langsung dapat dicegah atau dikurangi dengan merancang mekanisme pemilihan
presiden langsung yang lengkap mulai dari proses nominasi sampai dengan distribusi
kekuasaan.
Di banyak negara yang punya sistem pemilihan presiden langsung,
nominasi kandidat independen atau kandidat yang tidak memiliki basis parpol diizinkan.
Biasanya, persyaratan nominasi kandidat independen akan berbeda dengan kandidat dari
parpol. Apabila kandidat independen dibolehkan untuk mengikuti pemilihan presiden
langsung, kami usulkan agar syarat-syarat nominasi adalah sebagai berikut. a. Memperoleh
dukungan tandatangan minimum 3% dari suara pemilih (sekira 120 juta) b. Tandatangan
tersebut terdistribusi secara proporsional di mayoritas provinsi di Indonesia.
MPR baru atau parlemen perlu mengatur mekanisme mengenai dana kampanye
yang mencakup jumlah maksimum penerimaan dan pengeluaran, batas waktu pengeluaran untuk
kampanye, jenis-jenis donatur kampanye, metode penggalangan dana, serta aturan mengenai
penerimaan dana negara.
Di samping itu, perlu dirancang mekanisme impeachment terhadap
presiden yang mencakup pelanggaran jenis mana yang dapat mengakibatkan impeachment
serta proses pelaksanaan impeachment tersebut. Usulan impeachment dapat
berasal dari DPR, sedangkan proses peradilan dilakukan oleh dewan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar