Kamis, 13 September 2012

Wajah Demokrasi Kita

Baik sebagai sistem maupun proses, demokrasi dalam dekade-dekade belakangan dianggap sebagai yang  terbaik apabila dibandingkan dengan sistem dan proses politik yang lain. Ini karena demokrasi mengedepankan aspek manusia dan kemanusiaan. Demokrasi juga dapat menghindari adanya penyalahgunaan dari kesewenang-wenangan terhadap kekuasaan. Ini karena demokrasi, menurut Giovanni Sartori, merupakan “a system in which no one can choose himself, no one can invest himself with the power to rele, therefore, no one can arrogate to himself unconditional and unlimited power”.
            Karena demokrasi dipahami seperti itu eksistensinya kemudian diperjuangkan, bahkan tidak jarang demokrasi juga dirumuskan sebagai tujuan yang hendak dicapai. Tidaklah mengherankan, demokrasi terus diperjuangkan dan gerakan demokrasi ada di mana-mana. Sejak akhir 1980-an, gerakan demokratisasi berlangsung secara massive. Negara-negara totaliter dan otoriter banyak yang jatuh.
            Di Indonesia sendiri, semangat menuju demokratisasi sudah sudah ada sejak awal kemerdekaan. Tetapi semangat demikian terhalangi oleh sistem dan proses politik yang tidak demokratis selama kurun empat dekade. Sejak 1957 sistem politik kita mengarah pada apa yang disebut more or less, otoriter. Secara kelembagaan memang demokrasi itu seolah-olah ada, misalnya saja ada partai politik, pers, dan lembaga perwakilan rakyat. Tetapi, secara faktual demokrasi menjadi sulit terlihat karena arena partisipasi politik terbatasi (limited pluralism).
            Penguasa sendiri, di dalam posisi seperti itu kemudian menciptakan wacara, bahkan hegemoni, bahwa "demokrasi kita ini berbeda dengan demokrasi di negara-negara lain". Ini karena nilai-nilai kita memang khas, yaitu lebih mengedepankan aspek kolektivitas daripada individualitas. Pemerintahan Soekarno memaknai perbedaan itu dengan perumusan konsep Demokrasi Terpimpin, dan pemerintahan Soeharto dengan Demokrasi Pancasila. Selain itu, juga dikembangkan wacana bahwa untuk sampai pada kehidupan demokratis sebagaimana di negara-negara Barat, masyarakat kita belum siap.
            Maka selama empat dekade itu, dengan berbagai variasi di dalamnya, orang-orang atau kelompok-kelompok yang memperjuangkan demokrasi memang ada dan selalu berusaha. Tetapi perjuangan mereka kurang membawa hasil, bahkan kandas. Tidak sedikit aktivis demokrasi lalu menjadi tahanan politik karena dianggap "makar" kepada penguasa. Yang terjadi kemudian adalah adanya pensiatan-pensiatan tentang bagaimana sejumlah prinsip demokrasi kita bisa hidup dalam sistem otoriter itu. Ini dilakukan agar otoriotarisme itu tidak kebablasan atau ngono yo ngono ning yo ojo ngono.
            Upaya para aktivis yang memperjuangkan demokrasi itu memperoleh hasil yang cukup besar ketika mereka berhasil menurunkan Pak Harto dari puncak kekuasaan. Bersamaan dengan itu sejumlah instrumen otoritarianisme juga diupayakan untuk dilenyapkan. Termasuk di dalamnya ada upaya untuk menyeimbangkan pola hubungan negara dan masyarakat.
            Di samping itu, demokrasi di Indonesia juga berupaya ditegakkan melalui penegakan institusi-institusi demokrasi. Yang cukup menonjol dalam pemerintahan transisi ini adalah adanya institusi pers yang kuat. Ini tidak saja terlihat dari banyaknya media massa baru. Isi dari media massa dan elektronik sendiri saat ini sudah tidak terkontrol lagi oleh negara. Pers sekarang ini sangat bebas mengungkap fakta, opini, dan analisis termasuk yang selama ini dianggap tabu.
            Begitu bebasnya pers mengungkap fakta, opini dan analisis, tidak jarang proses check and recheck -- yang selama ini menjadi internal control pers -- kemudian diabaikan. Akibatnya, pers sekarang ini sangat "berkuasa" dan terkesan "otoriter", karena diabaikannya kode etik pers yang sudah melekat itu. Ini terlihat dari banyaknya kasus trial by the press sepanjang pemerintahan transisi ini.
            Selain institusi pers, kehidupan demokrasi yang terlihat adalah adanya kebebasan untuk berorganisasi, baik mendirikan partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Begitu bebasnya orang mendirikan partai politik saat ini sudah tercatat lebih dari seratus partai politik baru. Yang sedikit mengejutkan adalah polarisasi ideologi itu juga nampak, meskipun tidak sampai mengarah kepada polarisasi ekstrim. Di antara partai-partai baru itu dijumpai partai yang berbasis pada ideologi agama-agama tertentu, etnik, sampai basis ideologi-ideologi besar yang ada selama ini -- seperti sosialisme dan liberalisme.
            Munculnya banyak partai yang berbasis pada ideologi yang berbeda itu di satu sisi cukup menggembirakan, karena realitas ini merupakan refleksi dari freedom of organization dari berbagai kelompok yang berbeda. Di sisi lain, ada kekhawatiran munculnya partai yang berbeda secara ideologis itu akan memicu potensi konflik yang ada di dalam masyarakat.
            Berkaitan dengan itu rencana diadakannya Pemilu pada 7 Juni 1999 juga ditanggapi secara skeptis. Apakah Pemilu 1999 itu akan benar-benar berlangsung luber dan jurdil? Apakah militer dan birokrasi benar-benar tidak memihak? Kalau pun berlangsung secara demokratis, apakah pemilu itu tidak akan memicu kemunculan konflik?
            Pemerintah sendiri, termasuk Presiden BJ Habibie, berupaya meyakinkan kepada masyarakat bahwa Pemilu 1999 akan berlangsung secara luber dan jurdil. Untuk itu, seperangkat aturan yang menjaga kebersihan pemilu itu kini tengah dibahas oleh DPR. Termasuk di dalamnya adalah aturan tentang partai-partai yang bisa mengikuti pemilu. Para perancang UU tentang kepartaian yang baru memiliki argumen bahwa bentuk demokrasi yang cocok untuk Indonesia adalah model pluralisme sederhana. Rielnya, jumlah partai yang ada akan dibatasi. Langkah demikian ditempuh untuk meminimalisasi konflik politik.
            Kelompok-kelompok yang menganut pluralisme yang lebih luas, berikut pengelola partai-partai yang tidak bermassa besar, tentu saja tidak bisa menerima argumen semacam itu. Model pluralisme sederhana dianggap membatasi kebebasan berpolitik. Bisa dipastikan, kelompok demikian akan melayangkan protes dan  berdemonstrasi, apabila UU yang membatasi jumlah partai melalui persyaratan-persyaratan tertentu ditetapkan oleh DPR.
            Selain permasalahan institusi, penegakan demokrasi di Indonesia masih menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan budaya politik. Selain mensyaratkan adanya institusi-institusi tertentu, tegaknya demokrasi oleh para ahli ilmu politik dinilai memerlukan persyaratan budaya politik tertentu. Gabriel Almond dan Sidney Verba berargumen bahwa budaya politik yang cocok untuk demokrasi adalah "civic culture" (budaya politik kewarganegaraan). Di dalam budaya demikian masyarakat menyadari hak-hak dan kewajiban politiknya. Dengan demikian pola hubungan antara negara dan masyarakat akan berlangsung secara seimbang. Pola keseimbangan ini terjadi karena masing-masing warga negara mengembangkan nilai-nilai tertentu seperti "moderation, cooperation, bargaining, and accomodation".
            Nilai-nilai seperti itu agaknya yang masih belum kuat tertanam di dalam sanubari setiap warga negara Indonesia. Ini terlihat dari masih didapatinya kelompok-kelompok yang masih mengedepankan kepentingannya sendiri, dan memaksakan kehendak atas kelompok lain. Kerusuhan yang terjadi di Ketapang, Kupang, Ujung Pandang, dan di sejumlah daerah lainnya, membuktikan bahwa nilai-nilai yang dapat membangun kehidupan yang demokratis belum terhayati.
            Melihat realitas yang demikian, apakah demokrasi lalu perlu dilakukan secara bertahap sambil menunggu terbangunnnya nilai-nilai demokrasi seperti itu? Bagi para penganut pendekatan relativitas kultural, implementasi demokrasi memang harus memperhatikan realitas nilai-nilai demokrasi yang berkembang di dalam masyarakat. Implementasi itu hanya akan melahirkan distorsi seperti konflik berkepanjangan, kalau masyarakatnya belum siap.
            Pandangan linier semacam itu tentu tidak dapat diterima oleh para penganut universalitas demokrasi. Dalam pandangan kelompok demikian, demokrasi memang membutuhkan nilai-nilai tertentu, tetapi nilai-nilai akan terbangun dengan sendirinya kalau demokrasi diimplementasikan. Karena itu, tidak cukup realistis untuk menunda-nunda implementasi demokrasi hanya dengan dugaan bahwa masyarakat belum siap berdemokrasi.
            Perdebatan semacam itu jelas tidak akan selesai. Nilai-nilai tertentu memang sangat dibutuhkan untuk membangun demokrasi. Tetapi tidak jarang ini hanya dijadikan alasan bagi penguasa untuk menciptakan iklim politik yang demokratis.
Penulis berpandangan bahwa selain perlu dibangun lembaga-lembaga demokrasi  -- seperti adanya kebebasan berpolitik (aktif bergabung dan mendirikan partai politik), pemilu, dan yang lain -- adanya seperangkat aturan (rule of game) yang disepakati bersama untuk mengatur jalannya kehidupan politik itu, sangatlah diperlukan. Tanpa law enforcement semacam itu, nilai-nilai yang mendukung semokrasi akan lahir dengan sendirinya. Inikah yang akan terjadi untuk Indonesia masa depan? Penulis berdoa semoga ini yang akan terjadi, sehingga wajah demokrasi kita tidak bopeng seperti sekarang ini.

Sumber: Kacung Marijan, "Wajah Demokrasi Kita", Republika, 23 Januari 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar