Kamis, 13 September 2012

Kerangka Hukum Untuk Pemilu 2004 di Indonesia

Dokumen-dokumen hukum utama yang mengatur tentang pemilihan umum adalah:
  • Undang-Undang Dasar yang disahkan tahun 1945 dan diubah empat kali antara tahun 1999 dan 2002
  • Undang-Undang No. 31/2002 tentang Partai Politik
  • Undang-Undang No.12/2003 tentang proses Pemilihan Umum secara lebih terperinci
  • Undang-Undang No. 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
  • Undang-Undang No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi
  • Undang-Undang No. 22/2003 disebut sebagai "Susduk" yang mengatur tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara
Urutan berikut ini menyoroti hirarki perundang-undangan.
  • Undang-Undang Dasar
  • Tiga Undang-Undang Politik (No. 31/2002, No. 12/2003, No. 23/2003 (tentang partai politik dan Pemilu)
  • Keputusan Presiden tentang hal-hal yang berhubungan dengan Pemilu (contohnya, Keputusan Presiden No. 70/ 2001 tentang pembentukan Komisi Pemilihan Umum)
  • Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
  • Peraturan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU).
Keputusan KPU harus menjelaskan, menguraikan, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dari undang-undang tentang pemilihan umum. Keputusan KPU memiliki kekuatan hukum tetapi berada di bawah undang-undang Pemilu Indonesia.

1.       Hukum Internasional
Undang-Undang Dasar Indonesia mengatur bahwa Presiden, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain (Pasal 11). Dari sudut pandang Pemilu, salah satu perjanjian internasional yang paling penting, Kesepakatan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966), belum ditandatangani oleh Indonesia, meskipun pada kenyataannya pemerintah telah mengumumkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia pada bulan Juni 1999, yang mengharuskan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian-perjanjian utama tentang hak-hak asasi manusia dalam jangka waktu lebih dari lima tahun. Yang sudah diratifikasi adalah Konvensi Anti Diskriminasi Ras (25 Juni 1999), Konvensi Anti Penyiksaan (28 Oktober 1998), Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (13 September 1984), dan Konvensi tentang Hak-Hak Anak (5 September 1990).

Meskipun demikian, sebagian besar ketentuan utama yang terkandung dalam Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (1948) telah dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar dalam Bab XA Hak-Hak Asasi Manusia. Sebagai contoh, Pasal 28 Undang-Undang Dasar menetapkan bahwa: "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan... ditetapkan dengan undang-undang" serupa dengan Pasal 19 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia ("Setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresi.") dan Kesepakatan Internasional tentang Hak-Hak Politik dan Sipil. Dan Pasal 28E yang mengakui bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya" serta "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" serupa dengan Pasal 18 dari kesepakatan internasional tersebut di atas. Selanjutnya, Pasal 28I menetapkan bahwa, diantara hak-hak lainnya, "kebebasan berpikir" adalah "hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".


2.       Undang-undang Dasar
2.1.    Sistem sebelumnya
Berdasarkan ketentuan awal Undang-Undang Dasar 1945 yang diberlakukan oleh Presiden Soekarno, Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebagian anggotanya dipilih dan sebagian lagi ditunjuk. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan dasar hukum untuk Demokrasi Terpimpin Sukarno yang otoriter dan Orde Baru Suharto yang bahkan lebih otoriter. Dalam praktiknya, peraturan formal tentang pemilihan presiden tidak berbeda dengan kenyataan politik sebelum tahun 1998. Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai Presiden seumur hidup sebelum turun dari jabatannya, sementara Soeharto terpilih dengan suara bulat dalam Sidang Umum MPR enam kali berturut-turut selama 30 tahun. Sebelum kemerdekaan Indonesia, terdapat perdebatan nasional yang sengit tentang dasar untuk mendirikan negara baru (Indonesia). Terdapat pertentangan yang kuat antara para pendukung negara sekular dan pendukung negara Islam dalam panitia yang dibentuk oleh Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam keadaan tersebut, Soekarno mengusulkan pembentukan Negara berdasarkan lima pilar, atau Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial (Garuda Pancasila merupakan lambang negara). Pancasila tetap menjadi landasan utama undang-undang dasar, dan semua warga negara harus setia pada Pancasila. Para calon anggota KPU, contohnya, harus setia pada sila-sila konstitusi tersebut (Bab 4, pasal18 ayat b, Undang-Undang no. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum). Selain itu, dilarang untuk mempertanyakan Pancasila pada saat melakukan kampanye Pemilu (Pasal 38, Undang-Undang no. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 dan 74 Undang-Undang no. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum).

2.2.    Perubahan atas Undang-undang Dasar
Sejak tahun 1999, perubahan-perubahan penting telah dibuat atas Undang-Undang Dasar (dan selanjutnya atas undang-undang Pemilu). Hal tersebut kemudian mengakibatkan dilakukannya penentuan kembali definisi perimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga yang ada, serta pembentukan lembaga-lembaga baru.
Penegasan kembali prinsip-prinsip utama yang mengatur tentang Pemilu
Pertama, undang-undang dasar yang telah diubah menambahkan Pasal 22E tentang Pemilihan Umum. Ketentuan tersebut menjamin hak untuk memilih dan dipilih, meskipun hak tersebut tidak dirumuskan sebagai hak individual. Pasal tersebut menetapkan bahwa negara harus melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Serupa dengan Pasal 21.3 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia).
Pemisahan kekuasaan
Perubahan-perubahan tersebut juga menetapkan pemisahan kekuasaan yang jelas antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dengan perimbangan kekuasaan yang sesuai.
Sistem presidensial
Undang-Undang Dasar yang baru tidak lagi memuat aturan tentang lembaga tertinggi negara atau pemegang kekuasaan tunggal. Meskipun wewenang DPR telah diperkuat dalam bidang-bidang tertentu seperti pembuatan undang-undang, pengangkatan duta besar dan kepala polisi (dan pejabat pemerintah lainnya) dan perjanjian internasional, sistem yang sekarang bergerak ke bentuk sistem presidensial konvensional di mana Presiden dipilih secara langsung untuk jangka waktu tertentu dan bertindak sebagai kepala pemerintahan. MPR menjadi lembaga "politis" yang tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar sebagaimana yang dimiliki sebelumnya (MPR hanya menangani perubahan undang-undang dasar).
 3.      Lembaga eksekutif
Presiden menjabat selama jangka waktu lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode berikutnya. Presiden bertindak sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Pemilihan presiden langsung: Dalam sidang umum tahun 2001, MPR membuat perubahan atas undang-undang dasar untuk mengatur tentang pemilihan langsung presiden dan wakil presiden sebagai satu tim.
Hal tersebut dapat dianggap sebagai langkah berikutnya untuk memperkuat legitimasi presiden, yang mendorong rezim pemerintahan semakin mendekat pada sistem presidensial yang murni. Meskipun demikan, perubahan tersebut menentukan persyaratan yang tidak memungkinkan tim mana pun untuk menang pada putaran pertama pemilihan presiden. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa partai-partai harus mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden mereka selambat-lambatnya tujuh hari setelah pengumuman hasil Pemilu DPR.
Untuk penjelasan terperinci, lihat bagian "Perubahan Sistem Pemilu".

4.       Lembaga legislatif dan Sistem Pemilihannya
4.1.    MPR
Cabang legislatif dari Pemerintahan Indonesia menganut sistem bikameral. Sesuai dengan perubahan pasal 3 Undang-Undang Dasar, sekarang MPR terdiri atas para anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Tidak ada lagi anggota yang ditunjuk, di mana TNI kehilangan 38 kursinya yang masih tersisa (berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar pertama, alokasi kursi untuk TNI telah berkurang dari 75 menjadi 38). Secara formal, hal tersebut berarti militer kembali menjadi kekuatan pertahanan dan keamanan.

Sebelumnya, MPR adalah lembaga politis tertinggi dengan kekuasaan yang tidak terbatas, yang dahulu berfungsi sebagai penjelmaan rakyat sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar. Sekarang MPR diposisikan sebagai lembaga politis dengan wewenang yang penting tetapi terbatas, seperti membuat perubahan atas atau membuat undang-undang dasar, sebagai lembaga pemilihan dan sebagai lembaga yang dapat melakukan pemeriksaan terhadap presiden. MPR akan tidak lagi memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan umum negara atau melakukan pemeriksaan terhadap presiden. Apabila pemeriksaan tersebut dilakukan, MPR tidak memiliki hak eksklusif. MPR hanya dapat menanggapi tuduhan yang diajukan oleh DPR apabila, sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah. Tidak ada lagi sidang tahunan yang panjang dan keputusan-keputusan MPR tidak menjadi bagian dari sistem hukum.

4.2.    DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Pasal 47 Undang-Undang Pemilu menentukan pengalokasian 550 kursi di DPR, berdasarkan perwakilan proporsional, untuk setiap provinsi atau bagian dari sebuah provinsi (yang merupakan daerah pemilihan). Terdapat 69 daerah pemilihan. Pasal 5 yang asli menetapkan bahwa Presiden berwenang untuk membuat undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal tersebut telah diubah dan sekarang yang berwenang untuk membuat undang-undang adalah DPR, sementara Presiden berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

Kritik tajam terhadap undang-undang yang lama adalah bahwa undang-undang tersebut tidak menyediakan mekanisme pertanggungjawaban anggota-anggota lembaga legislatif kepada para pemilihnya. Dengan sistem perwakilan proporsional berdasarkan daerah pemilihan yang mencakup satu provinsi (khususnya di provinsi yang besar di pulau Jawa) yang selalu digunakan, pemilih hanya memilih partai bukan orang. Setelah amandemen atas undang-undang dasar yang dilakukan pada tahun 2002, seperangkat undang-undang Pemilu baru telah disetujui. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tetap menggunakan sistem proporsional sambil menerapkan pembaharuan terbatas yang bertujuan untuk membuat para anggota parlemen lebih bertanggung jawab.

Untuk penjelasan terperinci, lihat bagian "Tinjauan Umum tentang Perbedaan-Perbedaan Utama antara Sistem Pemilu Indonesia Tahun 1999 dan 2004."

4.3.    DPD (Dewan Perwakilan Daerah):
Perubahan atas undang-undang dasar tahun 2002 juga membentuk sebuah lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersama-sama dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) membentuk MPR dengan susunan yang baru.

DPD bukan komponen semacam senat yang ada pada sistem bikameral sejati yang di dalamnya kedua dewan memiliki kekuasaan yang kurang lebih setara. DPD berwenang terutama untuk mengusulkan, membahas, dan mengawasi undang-undang yang berhubungan dengan otonomi daerah (Pasal 22D). DPD juga memiliki hak prerogatif untuk "memberikan pertimbangan kepada DPR tentang Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, atau agama" (Pasal 22D (2)). Masing-masing daerah dari 32 provinsi (sebelumnya 27 dan sekarang berubah karena Undang-Undang Desentralisasi no. 22/2002), tanpa memperhatikan luasnya, akan memiliki empat orang wakil yang dipilih bersamaan dengan pemilihan anggota DPR.

Aturan perebutan suara:
Terdapat aturan yang berbeda tentang perebutan dalam pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Kursi DPR dan DPRD hanya dapat diperebutkan oleh partai-partai, dan para caleg harus dicalonkan oleh partai yang memenuhi syarat. Kursi DPD hanya dapat diperebutkan oleh para individu yang independen dan tidak tergabung dalam partai.

Persyaratan baru tentang tempat tinggal:
Untuk memastikan bahwa para caleg benar-benar mewakili daerah mereka (berbeda dengan "utusan daerah" di MPR pada jaman Soeharto yang kebanyakan tinggal di Jakarta), undang-undang tersebut mensyaratkan para calon anggota DPD bertempat tinggal di provinsi yang bersangkutan selama tiga tahun terakhir, atau sekurang-kurangnya sepuluh tahun setelah berumur 17 tahun. Biasanya, pemilihan umum terdiri dari pemungutan suara untuk lembaga-lembaga legislatif di tingkat nasional, provinsi, dan daerah.

Undang-undang tentang partai politik:
Untuk memenuhi persyaratan perolehan izin dari Departemen Kehakiman, sebuah partai harus memiliki cabang di setengah dari seluruh jumlah provinsi yang ada dan, di provinsi-provinsi tersebut, harus memiliki cabang di setengah dari seluruh kecamatan yang ada.

Undang-undang perlindungan anak tahun 2002:
Setiap pihak yang terbukti melibatkan anak-anak dalam kampanye pemilu yang akan datang dapat dikenakan sanksi kurungan paling lama lima tahun atau denda sebesar 100 juta rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar