Oleh: Syamsul Bahri
****
Bila kita berbicara Globalisasi,
maka globalisasi dijelaskan sebagai arus informasi dan komunikasi tanpa batas
terhadap kehidupan masyarakat dunia. Arus informasi yang berkembang cepat
menyebabkan cakrawala pandang manusia menjadi terbuka dan menembus batas udara,
daratan dan perairan di bumi ini. Globalisasi juga ditandai dengan pesatnya
perkembangan teknolgi dan meningkatnya komunikasi antar Negara serta
ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini, teknologi yang
sebenarnya sebagai alat bantu kemampuan diri manusia berubah menjadi kekuatan
yang otonom, membelenggu tingkah laku dan gaya hidup manusia pada masa kini.
Pengaruhnya yang sangat besar serta ditopang oleh kekuatan social yang kuat
atau dengan kata lain oleh masyarakat, menjadikannya sebagai pengarah hidup
manusia. Akibatnya, masyarakat yang tidak mampu membangun kekuatan teknologi
cendrung akan menjadi tergantung dan hanya mampu bereaksi terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi yang dimilki oleh masyarakat yang lebih
maju.
Globalisasi yang kita rasakan saat
ini, sangat terasa pengaruhnya. Karena didukung oleh teknologi yang semakin
pesat, khususnya dalam bidang komunikasi dan informasi. Secara tidak sadar, hal
ini telah mengubah norma-norma yang ada, menimbulkan kekacauan yang bersifat
normatif, serta menyebakan manusia menjadi disorientasi disebabkan tidak adanya
kepastian.
Disatu sisi, Globalisasi memberikan
manfaat, karena perangkat pendukungnya berupa teknologi telah memudahkan
manusia dalam mengeksplorasi potensinya. Di sisi yang lain ia juga sekaligus menjadi
ancaman serius bagi sebagian kalangan khususnya generasi muda jika tidak
ditopang dengan moral yang kuat. Ketergantungan manusia terhadap internet,
mobile phone dan seterusnya terutama akun jejaring seperti facebook dan Twitter
telah menjadi ladang subur bagi praktek penyelewengan dan penyimpangan.
Banyak kasus penipuan, perdagangan
manusia, prostitusi, pemekorsaan, pembunuhan, penculikan, kerusuhan bermula
dari penyalahgunaan teknologi informasi ini. Contoh kasus, apa yang terjadi
baru-baru ini di Lombok,NTB. Akibat dari issu penculikan anak yang beredar dari
group Black Berry Mesengger, kemudian menyebar dengan cepat ke masyarakat
melalui pesan berantai, lalu di up load ke
akun jejaring Facebook dan Twitter yang pada akhirnya menimbulkan
keresahan yang luar biasa. Akibat dari issu itu, tiga orang korban dikabarkan
meninggal dunia di amuk massa. Hanya karena dituduh menculik anak, padahal
sampai saat ini kebenaran issu tersebut tidak terbukti sama sekali.
Demikian juga dengan kasus
pemerkosaan yang marak terjadi akhir-akhir ini. Ketika para pelaku pemerkosaan
itu ditanya alasannya melakukan perbuatan keji itu, hampir seluruhnya menjawab
karena terpengaruh video porno yang mereka akses melalui internet. Belum lagi
kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang, Narkoba, Minuman keras, sex bebas,
tawuran antar kampung, Pelajar, Mahasiswa dan seterusnya semuanya adalah aefek
negative dari arus globalisasi yang tidak diimbangi dengan kekuatan moral.
Lalu,
Bagaimana mengatasinya?
Jika menilik sejarah, maka gejala
kerusakan moral tersebut juga pernah terjadi di zaman pra kenabian. Sebelum
Rasulullah Saw. diutus oleh Allah, kondisi serupa juga dialami oleh
bangsa-bangsa Arab Jahiliyah, meskipun dengan corak yang berbeda-beda namun
pada hakikatnya sama. Prosititusi, perbudakan, perdagangan manusia, minuman
keras adalah hal yang biasa terjadi, persis dengan yang kita rasakan saat ini.
Rasulullah
Saw. diutus dengan misi memperbaiki moral dan tingkah laku manusia, disamping
misi pembebasan dari penghambaan kepada selain Allah. Rasulullah Saw. bersabda,”Sesungguhnya aku diutus untuk
memuliakan akhlaq.”
Proyek peradaban yang dibawa oleh
Rasulullah Saw. ini dalam rangka mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Fitrah
manusia adalah kesucian, kemuliaan dan keagungan budi pekerti. Karena dengan
itu, stabilitas keamanan terjaga dan kerukunan ummat beragama terjalin dengan
baik.
Pada periode pertama dakwahnya,
Rasulullah Saw. menfokuskan diri pada pembinaan mental dan pola fikir. Karena
sumber dari segala permasalahan dan penyakit masyarakat saat itu ada pada
mental dan pola fikirnya. Pola fikir atau cara pandang yang keliru akan
menyebabkan tatanan kehidupan juga menjadi kacau. Misalnya cara pandang
masyarakat jahiliyah terhadap perempuan. Mereka memandang perempuan tidak lain
adalah objek pelampiasan nafsu biologis kaum pria semata. Perempuan ketika itu
dipaksa dan dikondisikan sedemikian rupa sebagai komoditas yang murahan, dimana
setiap orang yang menginginkannya berhak untuk menikmatinya.
Jika terjadi kehamilan akibat dari
praktek prostitusi itu, maka semua laki-laki yang pernah menggaulinya akan
berebut bagian. Diantara mereka akan berjaga-jaga, terutama menjelang kelahiran
sang bayi dan itu ditentukan dengan cara siapa yang datang tepat waktu. Ketika
bayi tersebut lahir, maka ada dua kemungkinan. Jika ia bayi laki-laki, maka ia
akan selamat dan diakui, tetapi jika yang terlahir adalah bayi perempuan maka
pertanda hidupnya tak akan lama, bahkan ia harus dikubur hidup-hidup.
Bayangkan, bagaimana rusak dan hancurnya tatanan kehidupan masyarakat
disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap kaum perempuan.
Olehkarenanya, Rasulullah Saw.
diutus untuk meluruskan cara pandang yang salah ini, sehingga wahyu yang
pertama kali diturunkan pun berbicara tentang bagaimana membebaskan akal dari
kebodohan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”(al-Alaq). Ayat ini
secara tegas menyebutkan bahwa, cara yang paling efektif untuk membebaskan dan
meluruskan pola fikir yang salah adalah dengan membaca. Selanjutnya, dengan
membaca akan terbuka cakrawala pandang manusia, sehingga fikiran yang semula
sempit akan terpola dengan baik seiring dengan intensitas dan kualitas bacaannya.
Ayat tersebut juga sebagai
instrument bagi setiap muslim, bahwa memperbaiki masyarakat yang rusak
hendaknya dimulai dengan pendidikan. Baik berupa pendidikan formal maupun non
Formal. Kualitas pendidikan juga akan sangat mempengaruhi pola fikir dan gaya
hidup seseorang sehingga mereka yang strata pendidikannya lebih tinggi biasanya
lebih terbuka daripada mereka yang strata pendidikannya rendah. Dengan
demikian, pendidikan berkarakter harus senantiasa ditumbuhkan melalui
lembaga-lembaga pendidikan kepada generasi muda bangsa ini. Karena
bagaimanapun, generasi muda saat ini sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Yusuf
Al-qaradhawi adalah gambaran masa depan suatu bangsa.
Pendidikan berkarakter menurut saya
adalah pendidikan yang menitik beratkan pada kemampuan berfikir, bukan
menghafal. Karena dalam beberapa ayat Allah Swt. Sering menyindir manusia
dengan pertanyaan,”Afalaa Ta’kiluun, Afala tatadabbaruun,” dan semisalnya.
Karakteristik
yang harus ditonjolkan dalam pendidikan berkarakter itu adalah kesesuaian
antara ucapan dan perbuatan serta pola fikir atau yang biasa kita sebut dengan
ketauladanan. Ketauladanan tidak hanya diharuskan bagi mereka yang mengajarkan
pendidikan agama, tetapi kepada segenap juru didik yang ada. Bukan tidak
mungkin, guru yang memegang pelajaran umum, karena keteladanannya akan di ikuti
dan dihormati oleh siswa-siswinya. Sebaliknya guru agama yang hanya bergulat
dengan teori tanpa praktek bisa jadi ditinggalkan oleh siswa-siswinya. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar