Rabu, 24 Oktober 2012

Dekadensi Moral di Era Globalisasi


Oleh: Syamsul Bahri
****
            Bila kita berbicara Globalisasi, maka globalisasi dijelaskan sebagai arus informasi dan komunikasi tanpa batas terhadap kehidupan masyarakat dunia. Arus informasi yang berkembang cepat menyebabkan cakrawala pandang manusia menjadi terbuka dan menembus batas udara, daratan dan perairan di bumi ini. Globalisasi juga ditandai dengan pesatnya perkembangan teknolgi dan meningkatnya komunikasi antar Negara serta ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.

            Dalam hal ini, teknologi yang sebenarnya sebagai alat bantu kemampuan diri manusia berubah menjadi kekuatan yang otonom, membelenggu tingkah laku dan gaya hidup manusia pada masa kini. Pengaruhnya yang sangat besar serta ditopang oleh kekuatan social yang kuat atau dengan kata lain oleh masyarakat, menjadikannya sebagai pengarah hidup manusia. Akibatnya, masyarakat yang tidak mampu membangun kekuatan teknologi cendrung akan menjadi tergantung dan hanya mampu bereaksi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi yang dimilki oleh masyarakat yang lebih maju.
            Globalisasi yang kita rasakan saat ini, sangat terasa pengaruhnya. Karena didukung oleh teknologi yang semakin pesat, khususnya dalam bidang komunikasi dan informasi. Secara tidak sadar, hal ini telah mengubah norma-norma yang ada, menimbulkan kekacauan yang bersifat normatif, serta menyebakan manusia menjadi disorientasi disebabkan tidak adanya kepastian.
            Disatu sisi, Globalisasi memberikan manfaat, karena perangkat pendukungnya berupa teknologi telah memudahkan manusia dalam mengeksplorasi potensinya. Di sisi yang lain ia juga sekaligus menjadi ancaman serius bagi sebagian kalangan khususnya generasi muda jika tidak ditopang dengan moral yang kuat. Ketergantungan manusia terhadap internet, mobile phone dan seterusnya terutama akun jejaring seperti facebook dan Twitter telah menjadi ladang subur bagi praktek penyelewengan dan penyimpangan.
            Banyak kasus penipuan, perdagangan manusia, prostitusi, pemekorsaan, pembunuhan, penculikan, kerusuhan bermula dari penyalahgunaan teknologi informasi ini. Contoh kasus, apa yang terjadi baru-baru ini di Lombok,NTB. Akibat dari issu penculikan anak yang beredar dari group Black Berry Mesengger, kemudian menyebar dengan cepat ke masyarakat melalui pesan berantai, lalu di up load ke  akun jejaring Facebook dan Twitter yang pada akhirnya menimbulkan keresahan yang luar biasa. Akibat dari issu itu, tiga orang korban dikabarkan meninggal dunia di amuk massa. Hanya karena dituduh menculik anak, padahal sampai saat ini kebenaran issu tersebut tidak terbukti sama sekali.
            Demikian juga dengan kasus pemerkosaan yang marak terjadi akhir-akhir ini. Ketika para pelaku pemerkosaan itu ditanya alasannya melakukan perbuatan keji itu, hampir seluruhnya menjawab karena terpengaruh video porno yang mereka akses melalui internet. Belum lagi kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang, Narkoba, Minuman keras, sex bebas, tawuran antar kampung, Pelajar, Mahasiswa dan seterusnya semuanya adalah aefek negative dari arus globalisasi yang tidak diimbangi dengan kekuatan moral.
Lalu, Bagaimana mengatasinya?
            Jika menilik sejarah, maka gejala kerusakan moral tersebut juga pernah terjadi di zaman pra kenabian. Sebelum Rasulullah Saw. diutus oleh Allah, kondisi serupa juga dialami oleh bangsa-bangsa Arab Jahiliyah, meskipun dengan corak yang berbeda-beda namun pada hakikatnya sama. Prosititusi, perbudakan, perdagangan manusia, minuman keras adalah hal yang biasa terjadi, persis dengan yang kita rasakan saat ini.
Rasulullah Saw. diutus dengan misi memperbaiki moral dan tingkah laku manusia, disamping misi pembebasan dari penghambaan kepada selain Allah. Rasulullah Saw.  bersabda,”Sesungguhnya aku diutus untuk memuliakan akhlaq.”
            Proyek peradaban yang dibawa oleh Rasulullah Saw. ini dalam rangka mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Fitrah manusia adalah kesucian, kemuliaan dan keagungan budi pekerti. Karena dengan itu, stabilitas keamanan terjaga dan kerukunan ummat beragama terjalin dengan baik.
            Pada periode pertama dakwahnya, Rasulullah Saw. menfokuskan diri pada pembinaan mental dan pola fikir. Karena sumber dari segala permasalahan dan penyakit masyarakat saat itu ada pada mental dan pola fikirnya. Pola fikir atau cara pandang yang keliru akan menyebabkan tatanan kehidupan juga menjadi kacau. Misalnya cara pandang masyarakat jahiliyah terhadap perempuan. Mereka memandang perempuan tidak lain adalah objek pelampiasan nafsu biologis kaum pria semata. Perempuan ketika itu dipaksa dan dikondisikan sedemikian rupa sebagai komoditas yang murahan, dimana setiap orang yang menginginkannya berhak untuk menikmatinya.
            Jika terjadi kehamilan akibat dari praktek prostitusi itu, maka semua laki-laki yang pernah menggaulinya akan berebut bagian. Diantara mereka akan berjaga-jaga, terutama menjelang kelahiran sang bayi dan itu ditentukan dengan cara siapa yang datang tepat waktu. Ketika bayi tersebut lahir, maka ada dua kemungkinan. Jika ia bayi laki-laki, maka ia akan selamat dan diakui, tetapi jika yang terlahir adalah bayi perempuan maka pertanda hidupnya tak akan lama, bahkan ia harus dikubur hidup-hidup. Bayangkan, bagaimana rusak dan hancurnya tatanan kehidupan masyarakat disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap kaum perempuan.
            Olehkarenanya, Rasulullah Saw. diutus untuk meluruskan cara pandang yang salah ini, sehingga wahyu yang pertama kali diturunkan pun berbicara tentang bagaimana membebaskan akal dari kebodohan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”(al-Alaq). Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa, cara yang paling efektif untuk membebaskan dan meluruskan pola fikir yang salah adalah dengan membaca. Selanjutnya, dengan membaca akan terbuka cakrawala pandang manusia, sehingga fikiran yang semula sempit akan terpola dengan baik seiring dengan intensitas dan kualitas bacaannya.
            Ayat tersebut juga sebagai instrument bagi setiap muslim, bahwa memperbaiki masyarakat yang rusak hendaknya dimulai dengan pendidikan. Baik berupa pendidikan formal maupun non Formal. Kualitas pendidikan juga akan sangat mempengaruhi pola fikir dan gaya hidup seseorang sehingga mereka yang strata pendidikannya lebih tinggi biasanya lebih terbuka daripada mereka yang strata pendidikannya rendah. Dengan demikian, pendidikan berkarakter harus senantiasa ditumbuhkan melalui lembaga-lembaga pendidikan kepada generasi muda bangsa ini. Karena bagaimanapun, generasi muda saat ini sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Yusuf Al-qaradhawi adalah gambaran masa depan suatu bangsa.
            Pendidikan berkarakter menurut saya adalah pendidikan yang menitik beratkan pada kemampuan berfikir, bukan menghafal. Karena dalam beberapa ayat Allah Swt. Sering menyindir manusia dengan pertanyaan,”Afalaa Ta’kiluun, Afala tatadabbaruun,” dan semisalnya.
Karakteristik yang harus ditonjolkan dalam pendidikan berkarakter itu adalah kesesuaian antara ucapan dan perbuatan serta pola fikir atau yang biasa kita sebut dengan ketauladanan. Ketauladanan tidak hanya diharuskan bagi mereka yang mengajarkan pendidikan agama, tetapi kepada segenap juru didik yang ada. Bukan tidak mungkin, guru yang memegang pelajaran umum, karena keteladanannya akan di ikuti dan dihormati oleh siswa-siswinya. Sebaliknya guru agama yang hanya bergulat dengan teori tanpa praktek bisa jadi ditinggalkan oleh siswa-siswinya. Wallahu a’lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar