Rabu, 03 Juli 2013

Opini Publik Dalam Jebakan Media Massa

Oleh : Syamsul Bahri

"Jika Anda tidak punya opini, maka Anda akan menjadi korban dari setiap opini."

Pasca tumbangnya rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, kebebasan pers di Indonesia nyaris tanpa restriksi (pembatasan). Setelah sebelumnya kebebasan tersebut dikrangkeng selama lebih dari 32 tahun. Bila pada era Orde Baru, terjadi banyak restriksi, di era reformasi ini pers menjadi bebas tanpa lagi ada batasan-batasan dari kebijakan pemerintah yang berusaha mengekang insan pers dalam menghadirkan karya-karya jurnalistik mereka.


Kebebasan Pers, menurut Prof. Meriam Budiarjo merupakan salah satu indikator negara yang berbasis demokrasi. Kebebasan pers juga merupakan Hak Asas Manusia yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945 (pasal 28) serta UU No.40 Tahun 1999. Kebebasan  Pers dimaksudkan untuk menjamin  adanya transaksi informasi yang bersifat dua arah antara Pemerintah dengan masyarakat. Sehingga tercipta komunikasi yang diharapkan dapat menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan demokrasi yang sehat.

Di dalam UU No. 40 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan Jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Dewasa ini, Pers menjadi sebuah lembaga yang tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi belaka, tetapi ia juga menjelma menjadi sebuah rezim  yang mampu memberikan nuansa dan cita rasa berbeda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut disebabkan karena wilayah garapan pers adalah wilayah inti dari bangsa itu sendiri. Yaitu wilayah akal, persepsi, paradigma, opini dan mungkin ideologi.
Dengan kata lain, cita rasa kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sangat dipengaruhi oleh bagaimana media massa/pers membangun persepsi kita terhadap bangsa dan negara. Olehkarenanya, peran pers yang menjalankan fungsi integratif sebagai alat pemersatu bangsa yang plural dan multikultural seperti masyarakat Indonesia saat ini sangat diperlukan, agar tercipta harmonisasi antar anak bangsa, satu dengan lainnya. Bukan sebaliknya, menjadi pemecah belah bangsa dengan menonjolkan fanatisme kelompok, golongan dan semacamnya.

Konsekuensi lanjutannya adalah pers harus benar-benar steril dari kepentingan pribadi maupun golongan. Pers tidak dibenarkan memihak kepada kelompok politik tertentu guna menjamin informasi yang disampaikan kepada masyarakat memenuhi unsur keadilan, objektivitas dan apa adanya(das sein), jauh dari intervensi pihak manapun, termasuk wartawan. Pers hanya boleh memihak kepada kebenaran yang didasari pada fakta maupun data dari kegiatan jurnalistik yang dilakukan di lapangan.

Bila mana hal tersebut diabaikan dan tidak dilakukan, maka sudah bisa dipastikan informasi yang diterima publik tidak lagi murni, melainkan terkontaminasi oleh unsur subjektivitas pihak-pihak tertentu baik dari insan pers itu sendiri maupun pemilik modal. Bisakah anda membayangkan, seandainya insan pers berafiliasi pada kelompok politik A, kemudian memberitakan kelompok politik B yang tersangkut dugaan tindak pidana misalnya. Maka apa yang terjadi?

Kemungkinannya ada dua kondisi, tentu tanpa bermaksud menegasikan kemungkinan lainnya. Pertama, Jika kelompok politik B memiliki lembaga pers, seperti TV, Koran dan seterusnya, yang setara dengan lembaga pers yang dimiliki oleh kelompok politik A. Maka, besar kemungkinan akan terjadi perang issu di antara kedua belah pihak. Ketika lembaga pers yang berafiliasi kepada kelompok politik A, melancarkan serangan kepada kelompok politik B, maka kelompok politik B akan berusaha membela diri melalui lembaga pers yang berafiliasi kepada kelompknya. Bahkan sesekali melancarkan serangan serupa kepada kelompok politik A. Namun, biasanya  issu yang diangkat tak berlangsung lama, karena kedua belah pihak berhasil meredam kegaduhan yang ditimbulkan akibat drama pemberitaan yang mereka mainkan sendiri.
Contoh sederhananya adalah issu pasal Lapindo yang terdapat dalam fostur anggaran APBNP 2013 kala presiden SBY berencana menaikkan harga BBM bersubsidi. Di atas kertas, Golkar akan menjadi pihak yang terdakwa, namun karena Ketua Umum mereka memiliki media massa, kegaduhan yang sempat timbul berhasil diredam . Meski beberapa insan pers mencoba mengungkitnya.

Kedua, jika kelompok politik B tidak memiliki lembaga Pers, atau memiliki tetapi tidak sekuat lembaga pers yang dimiliki oleh kelompok politik A, maka Ia akan menjadi bulan-bulanan media massa yang berafiliasi pada kelompok politik A. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah contoh nyata  korban "keroyokan"  rezim Pers yang notabene milik pemodal yang juga politisi. Terutama ketika kasus AF kembali mencuat ke permukaan berkat drama sita yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor DPP PKS beberapa waktu lalu. Mengapa demikian? Karena PKS belum memiliki apa yang mereka (pengeroyok) miliki.

Pertanyaan besarnya adalah apakah kemudian informasi yang kita terima selama ini, melalui media massa, baik cetak maupun elektronik merupakan informasi "suci" yang terbebas dari segala bentuk kontaminasi kepentingan berbagai pihak?
Untuk menjawabnya, satu hal yang patut kita ketahui dan garis bawahi adalah-diakui atau tidak- hampir semua lembaga pers/media massa di negeri ini telah menunjukkan afiliasi mereka terhadap partai politik tertentu, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Misalnya, Metro TV, afiliasi politiknya adalah Partai Nasdem. TV One, ANTV afiliasi politiknya adalah Partai Golkar. MNC TV, RCTI Afiliasi politiknya adalah Partai Hanura dan seterusnya. Kondisi tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi karya jurnalistik yang mereka sajikan, karena masing-masing membawa agenda politik dari partai politik yang mereka berafiliasi kepadanya

Pada akhirnya, kita dituntut untuk lebih cerdas dan selektif dalam menerima setiap informasi yang berkembang. Agar kita tidak terjebak dalam setting egenda politik yang mereka (media massa) buat. Kita juga harus lebih waspada terhadap opini yang dibangun untuk menjatuhkan harkat dan martabat anak bangsa juga issu-issu yang berkaitan dengan SARA yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah belah persatuan bangsa dan negara. Mengingat komunikasi politik yang dibangun akhir-akhir ini oleh kebanyakan politisi menurut DR. Lely Ariani cenderung lebih keras, kasar dan jauh dari watak asli bangsa kita yang santun, ramah dan saling hormat- menghormati.
Langkah bijak yang mungkin bisa kita ambil adalah memastikan setiap berita yang kita terima benar-benar dikunyah terlebih dahulu, sebelum memasukkannya dalam sistem pencernaan akal sehat kita. Langkah  selektif kita dalam memilih dan memilah informasi yang beredar akan menyelamatkan kita dari sesat fikir dan juga menghindarkan kita dari terkaman politisi media yang mencoba merampas kemerdekaan berfikir kita. Sekian!

Mataram, Lombok, NTB, 28 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar